Popular Post

Kamis, 10 Oktober 2013

Nih juga contoh kebangganku jadi anak Ngawi
Ngawi tercatan sebagai lokasi pertama kali ditemukannya fosil manusia purba Pithecantropus erectus,.
Sejak penemuan bersejarah oleh ilmuwan Belanda, Eugene Dubois, pada tahun 1894, ribuan fosil manusia, hewan, dan tumbuhan purba pun terus bermunculan.,
Sekarang sekitar 1.500 fosil langka yang dikoleksi Museum Trinil itu menjadi laboratorium alam bagi kehidupan manusia purba pada era satu juta tahun silam.,.


sob,.kalo maen ke ngawi,.jangan lupa mampiir ke museum trinil,.oke 
jaraknya cuman 15km dari Ngawi kota, and tempatnya di tepi sungai bengawan solo,.
waktu yang di tempuh dari ngawi kota cuman 30 menitan kok,.
Museum Trinil yang berada di kawasan seluas 2,5 ha yang secara administratif berada di Dusun Pilang, Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, itu tampak unik. Beragam koleksi fosil manusia, hewan, dan tumbuhan purba mengingatkan kita kepada kehidupan masa lalu, ratusan ribu bahkan jutaan tahun silam.

Tampak Memikat


Dari sekian banyak koleksi, fosil manusia purba Pithecantropus erectus atau sekarang dikenal sebagai Homo erectus itu tampak memikat. Bukan apa-apa, koleksi ini merupakan replikasi fosil manusia purba yang pertama kali ditemukan ilmuwan Belanda, Eugene Dubois, pada 1894. Fosil aslinya berada di Belanda.


Dubois pada 1890-1900 melakukan penggalian arkeologi di perbatasan tiga desa: Kawu, Ngancar, dan Gemarang. "Di situlah fosil manusia purba pertama ditemukan yang oleh Dubois dinamakan Pithecantropus erectus," ungkap Sinung Baskoro, Kepala Museum Geologi, Badan Geologi.


Berdasarkan kajian, fosil tersebut hidup di era pleistosin tengah atau satu juta tahun silam. Penemuan ini menggemparkan dunia karena berhasil mematahkan teori evolusinya Charles Darwin yang sangat terkenal itu.


Menurut Darwin, nenek moyang manusia adalah kera. Melalui proses evolusi yang berlangsung jutaan tahun, kera tersebut berubah menjadi manusia berotak cerdas seperti sekarang ini.


Namun, berkat temuan fosil Pithecantropus erectus (manusia cerdas berjalan tegak) berupa langit-langit (geraham), tengkorak, dan tulang paha atas maka Teori Darwin tak berlaku. Penemuan fosil itu sekaligus memberi bukti bahwa nenek moyang manusia bukan kera, tetapi manusia juga.


Hal itu ditunjukkan dengan ukuran fosil geraham dan tengkorak yang sangat berbeda jauh dengan geraham dan tengkorak kera. Begitu juga dengan fosil tulang paha atas, tidak simetris dengan ukuran tulang paha kera. 


Penemuan fosil tersebut sekaligus menghapus keraguan adanya mata rantai yang hilang dalam teori evolusi manusia dan fosil fauna vertebrata. Indonesia telah menunjukkan perannya kepada dunia dalam pengembangan ilmu pengetahuan.


Tak hanya itu, Ngawi juga menunjukkan pada dunia, begitu berlimpahnya kehidupan hewan dan tumbuhan di masa purba. "Kami mengoleksi ratusan fosil hewan dan tumbuhan purba," ujar Catur Hari Guntoro, Juru Pelihara Museum Trinil.


Coba perhatian gading gajah purba. Ukurannya jauh lebih besar dan lebih panjang ketimbang gading gajah pada era sekarang ini. Temuan fosil berupa beberapa bagian tubuh binatang tersebut menggambarkan bahwa gajah purba itu berukuran raksasa.


Begitu juga dengan fosil-fosil binatang purba lainnya seperti kerbau dan banteng yang juga ditemukan tak jauh dari Sungai Bengawan Solo yang mengalir di Ngawi. Inilah laboratorium kehidupan alam raya pada era satu juta tahun silam.


Laboratorium ini masih berselimutkan misteri. Bukan apa-apa, dari sekitar 1.500 fosil manusia, hewan, dan tumbuhan purba yang dikoleksi, ungkap Catur, masih ada sekitar 500 fosil yang belum teridentifikasi.


Inilah tantangan bagi ilmuwan multidisiplin (paleontologi, geologi, biologi, arkeologi, dan lain-lain) untuk menyingkap misteri tersebut. Dari sinilah nantinya kita dapat merekonstruksi seperti apa kehidupan di masa purba itu.


Usaha Gigih


Koleksi Museum Trinil telah berkembang luas seperti sekarang ini atas usaha yang gigih dari Wirodiharjo, penduduk lokal yang bermukim di Desa Kawu. Sejak 1967 dia mengumpulkan fosil yang ditemukan di tepian Bengawan Solo.


Koleksinya waktu itu telah mengisi sepertiga rumahnya. Barulah pada 1980-1981 Pemda Ngawi mendirikan museum untuk menampung koleksi fosil-fosil milik Wirodiharjo. 

Lalu pada 1983 museum ini mendapat replika fosil geraham, tengkorak, dan tulang paha Pithechantrophus erectus dari Utrecht University, Belanda, sedangkan fosil aslinya masih disimpan di Negeri Kincir Angin tersebut.

Bertepatan seabad penemuan fosil manusia cerdas berjalan tegak itu, Gubernur Jawa Timur, Soelarso, meresmikan Museum Trinil pada 20 November 1991. Ribuan koleksi fosil purba nan langka itu mestinya menjadi ladang ilmu pengetahuan yang luas untuk meneropong kehidupan dan kebudayaan di masa silam.


Potensi ini menunjukkan bahwa di tingkat internasional Indonesia berperan besar dalam penelitian bidang geologi, khususnya paleontologi. Paleontologi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari mengenai sejarah kehidupan di bumi, tanaman, dan hewan purba berdasarkan fosil yang ditemukan di bebatuan. 


Karena itu, sudah sewajarnya kalau pemerintah perlu lebih memperhatikan museum ini dengan anggaran yang memadai, baik untuk memenuhi kebutuhan riset, perbaikan fasilitas penampungan dan perawatan, maupun sarana infrastruktur lainnya. Melalui sentuhan tersebut, Museum Trinil kelak mampu menjadi referensi bagi pengembangan ilmu pengetahuaan, khususnya dalam menelusuri jejak kebudayaan manusia purba beserta alam semestanya di tingkat internasional.


Selain itu, generasi muda juga ikut tergugah untuk mengerti dan memahami kehidupan nenek moyangnya di masa lalu. Hanya dengan menghormati kebudayaannya, kita bisa menemukan jati diri sehingga tak mudah goyah diterpa budaya asing yang belum tentu sesuai dengan karakter kita.


Lebih dari itu, Museum Trinil juga dapat menjadi tempat wisata pendidikan bagi khalayak ramai. Praktis, kondisi ini akan menyemarakkan kegiatan ekonomi lokal di daerah tersebut.


Jadi, ayo kita semarakkan Museum Trinil agar tetap lestari dan senantiasa bermanfaat bagi peradaban umat manusia. b siswo 




Melihat Jejak Hewan Purba di Lereng Gunung Lawu


Lokasi ini merupakan satu-satunya tempat penemuan fosil jejak binatang purba di Indonesia.


Kalau sudah berada di Museum Trinil, sempatkanlah mendaki ke lereng Gunung Lawu. Jarak keduanya hanyalah "sepelemparan batu". Apalagi udaranya juga sejuk, segar, dan bersih dengan berhiaskan vegetasi tropis yang memukau.


Di lereng utara Gunung Lawu itu Anda akan menemukan sejarah kehidupan purba yang unik dan menarik. Bukan apa-apa, di daerah perbukitan yang melandai itu Anda dapat langsung melihat fosil berupa jejak binatang purba.

"Lokasi ini merupakan satu-satunya tempat penemuan fosil jejak binantang purba di Indonesia," ujar Oman Abdurahman, geolog dari Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Satu-satunya fosil jejak binatang purba itu ditemukan di Widodaren, terletak di perbatasan dua desa: Desa Randu Songo dan Desa Widodaren. Fosil yang ditemukan oleh tim Indonesia dan Jepang pada tahun 1991 dalam sebuah ekspedisi Geology of Quarternary Environment itu disponsori JICA.


Jadi, kalau Anda ingin melihat jejak-jejak hewan purba silakan melaju ke Widodaren. "Fosil jejak kaki yang ditemukan di sini tersingkap pada tiga lapisan lahar endapan aliran lumpur vulkanik Formasi Sidolaju (Formasi Plumutan)," ungkap Oman seperti dilansir Geomagz edisi Juni 2013. 


Cara melihatnya juga cukup mudah. Silakan bawa sapu lidi untuk menyingkirkan daun-daun dan debu yang menutupi permukaan tanah tersebut. Dari situlah akan terlihat jejak-jejak kaki hewan purba yang terperangkap pada lapisan batuan.


Berdasarkan fosil jejak dan didukung oleh temuan beberapa fosil gigi dan tulang belulang Bovid, binatang tersebut berasal dari spesies Bubalus palaeokarabau atau Bibos palaeosandaicus. "Umurnya ditaksir sekitar 500.000-250.000 tahun lalu," ujar Oman.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Martiana Tia - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -